Kekerasan Pada Perawat

Kekerasan Pada Perawat

Kekerasan Pada Perawat

Kekerasan Pada Perawat – Mendengar info kekerasan terhadap daya kesehatan terlebih perawat bukanlah sebuah momen baru di Indonesia. Kalau anda tak males, dan punya waktu lowong untuk gugling akan muncul deretan momen kekerasan yang menimpa perawat di Tanah Air. Padahal bukan hal baru, momen hal yang demikian acap kali mengundang emosi yang tak tertahan. Sedih, mangkel, dan naik darah bercampur aduk. Seperti info dan video yang tersebar kemarin lalu, seorang perawat perempuan di Rumah Sakit Siloam, Palembang mengalami perbuatan kekerasan oleh keluarga pasien. Perawat hal yang demikian ditampar, dijambak dan ditendang.

Rasa-rasanya kejadian hal yang demikian, layaknya, perawat itu bukanlah manusia. Ia, perawat tadi tak diperlakukan sebagai manusia.

“Oh, ya, kan memang ada itu perawat di Rumah Sakit kerjanya tak layak SOP. Apalagi sekiranya pasien BPJS pasti dilama-lamain, tak seketika diberi perbuatan”

“Mas atau Mbak, sekiranya ada perawat yang demikian bukan berarti dibuat sebagai dalih untuk melaksanakan perbuatan kekerasan”

“Lha, gimana, buah hatinya tak diperlakukan layak SOP kan jadi emosi dan diluapkan oleh bapaknya”

“Konsisten itu tak bisa dibuat alasan. Kalau tak layak SOP, keluarga bisa menuntut melalui trek aturan. Kan telah terang pasien itu punya hak dan kewajiban. Apalabila haknya tak terpenuhi bisa menuntut. Perawat bahkan nanti bisa sanksi etik sekiranya terbukti melanggar atau merugikan pasien”

“Lalu, bagaimana dengan pasien BPJS pasti dilama-lamain, tak seketika diberi perbuatan?”

“Oh, hening, aku paham maksudmu. Pasien BPJS itu merupakan urusan manajemen Rumah Sakit. Padahal perawat hanya memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien”

“Kan ada itu pasien BPJS dicuekin oleh perawat. Jarang senyum dan dibeda-bedain”

“Tidak benar juga, Bu dan Pak. Mungkin saat itu anda menemukan kasus seperti itu. Tetapi tak bisa mengenaralisir bahwa perawat itu tak pro pasien BPJS. Banyak sekali perawat yang care pada pasien sedangkan telah sembuh, dan pulang ke rumah. Mengingatkan supaya konsisten menjaga kesehatan, mengontrol pola rehat dan tidur”

Baca juga: Siswi SD Di Kota Jambi Dilansir Meninggal Dunia Berakhir Di-Bully Sahabat

***

Tentu tak segala orang mengamati perawat sejelek itu. Di permulaan ramai-ramainya dunia dihantam oleh COVID-19 terlalu banyak simpati yang diterima oleh perawat, bahkan di masa pandemi ini kita sering kali mendengar mereka (baca=perawat) di sebut sebagai pahlawan paling depan (the heroes of front line) dalam menangani COVID-19. Rasa-rasanya ungkapan Florence Nigtingale hidup kembali bahwa menjadi perawat itu merupakan “panggilan tuhan”.

Memang betul bahwa profesi perawat itu mengedepankan poin altruism. Di mana kepentingan orang lain yang wajib didahulukan dari pada kepentingan perawat itu sendiri.

Tetapi jangan bergembira dulu, duhai perawat. Rasa simpati itu umumnya tak tahan lama. Orang-orang, bahkan pemerintah sekalipun juga bakal lupa dalam waktu singkat bahwa perawat itu merupakan pahlawan.

Aku memang belum pernah bekerja sebagai perawat di Klinis ataupun di Sosial, tetapi aku bisa menikmati dan mengamati seketika bagaimana profesi berat yang diemban seorang perawat. Pengalaman itu aku temukan saat Pratik klinik/kelompok sosial bagus saat kuliah D3 ataupun S1 Keperawatan dulu.

Mereka akan lupa bahwa perawat itu berada di rumah sakit selama 24 jam memenami dan memenuhi kebutuhan seorang pasien. bahkan perawat juga dilimpahkan tugas yang wajib bukan tugas seorang perawat. Makanya mereka lebih dekat terhadap pasien daripada dokter.

Karenanya, rasa simpati pada perawat saja tak cukup sebagai imblan dari profesi mulai ini.

Jangan dikira perawat yang memilih menjadi relawan COVID-19 itu semata-mata mau menjadi bagian dari pahlawan COVID-19, bahkan beberapa dari mereka tak butuh label pahlawan itu.

Sebab ada di pikiran mereka merupakan adanya sejumput keinginan supaya dapur mereka konsisten mengepul. Tetapi Insentif yang dibayarkan terhadap mereka sungguh-sungguh besar dibandingi bekerja sebagai perawat honorer di puskesmas yang hanya digaji ratusan ribu.

Tetapi kenyataannya, insentif mereka bahkan mengalami keterlambatan berbulan-bulan. Aku tak tahu persis bagaimana bobot mental, sosial, dan finansial yang mereka natural. Sebab terang ini sungguh-sungguh memprihatikannyan.

Apalagi dalam keadaan seperti itu mereka juga sungguh-sungguh rentan mengalami perbuatan kekerasan bagus lisan ataupun lahiriah.

Pada sebuah acara di statisun TV, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, diberi pertanyaan oleh Rosi perihal tanggapannya mengenai perlindungan perawat dari perbuatan kekerasan. Apakah ada ganti rugi, bantuan pemulihan, aturan dst. Harif Fadhillah menjawa itu tergantung terhadap pribadi setiap perawat. DPP PPNI tentu akan memberikan bantuan aturan terhadap perawat, dan selebihnya pihak Rumah Sakit juga membuat aturan-aturan yang melindungi pekerjanya termasuk perawat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *